Jakarta, (kabar24jam.com) – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengapresiasi perjalanan 20 tahun Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Sekaligus mendukung hadirnya FSAB Muda sebagai generasi ketiga atau cucu dari para tokoh dan pelaku sejarah yang telah mengilhami terbentuknya organisasi FSAB.
Sebagai gerakan moral yang terus menyebarkan benih perdamaian ke berbagai penjuru tanah air, di dalam FSAB berkumpul berbagai anak cucu anggota TNI maupun anak cucu berbagai gerakan. Antara lain Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), maupun Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
“Melalui semangat berhenti mewariskan konflik, dan tidak membuat konflik baru, FSAB telah menjadi mercusuar yang menjaga perdamaian dan persatuan bangsa. Para anak cucu dari pelaku sejarah konflik di masa lalu mampu memaafkan, dengan tidak melupakan. Maksudnya, memaafkan konflik yang terjadi di masa lalu dikarenakan kesadaran bahwa semua elemen bangsa dilahirkan dari rahim Ibu Pertiwi yang sama, namun tidak melupakan kejadian tersebut sehingga bisa dijadikan pelajaran bagi generasi masa kini dan mendatang,” ujar Bamsoet dalam perayaan HUT ke-20 FSAB, di Jakarta, Rabu (14/6/23).
Turut hadir antara lain, Anggota Wantimpres RI Sidarto Danusubroto, Direktur Program dan Produksi LPP RRI Mistam, serta Wakil Pemred Harian Kompas Paulus Tri Agung Kristanto. Hadir pula Para Penasihat FSAB antara lain Dubes Amelia Yani, Dubes Nurrachman Oerip, Catherine Pandjaitan, Nina Pane, dan Joesoef Faisal. Serta FSAB Muda, antara lain Mayang Panggabean (Cucu DI Pandjaitan), serta Anna (Cucu SM. Kartosoewirjo).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, setiap negara dunia memiliki sejarah konflik di masa lalu. Uni Soviet, misalnya, bahkan terpecah menjadi 15 negara yang hingga kini masih terlibat konflik seperti antara Rusia dengan Ukraina. Indonesia patut bersyukur, walaupun dihadapkan pada berbagai konflik, namun tidak membuat kondisi bangsa tercerai berai.
“Luka konflik yang berat di masa lalu, mampu dibasuh oleh kehadiran FSAB. Membuktikan bahwa sejarah bukanlah hanya milik pemenang, melainkan milik semua orang, milik segenap elemen bangsa. Seberat apapun beban yang ditanggung akibat konflik di masa lalu, mampu diringankan oleh silaturahmi yang dijalin para generasi selanjutnya untuk menuju rekonsiliasi nasional,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, momentum HUT ke-20 FSAB semakin menguatkan kiprah dan kontribusi FSAB dalam mengaktualisasikan tiga nilai keutamaan ‘Ikrar Anak Bangsa’ FSAB. Terdiri dari menghargai kesetaraan; menghormati hak asasi dan perbedaan serta tidak mewariskan konflik, dan tidak membuat konflik baru.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, urgensi memperjuangkan tiga nilai keutamaan tersebut masih sangat relevan. Misalnya terkait isu kesetaraan, hingga saat ini masih banyak yang harus diperjuangkan. Contohnya kesetaraan gender dalam bidang ekonomi. Laporan Bank Dunia bertajuk ‘Women, Business, and the Law 2023’ yang dirilis pada awal Maret 2023, untuk indeks kesetaraan gender di bidang ekonomi, posisi Indonesia hanya berada di peringkat ke-8 dari 11 negara di ASEAN.
“Dalam aspek penghormatan terhadap hak asasi manusia, meskipun secara kuantitatif terdapat sedikit peningkatan pada Indeks Kinerja HAM pada tahun 2022 (naik 0,3 poin), namun dari aspek kualitatif masih menyisakan beberapa catatan yang cukup kritis, terutama dalam aspek keadilan dan komitmen memutus mata rantai konflik sebagai legasi kesejarahan. Beberapa konflik sosial yang terjadi di Indonesia, memiliki akar kesejarahan yang cukup lama tertanam. Misalnya peristiwa Perang Padri di tanah Batak, yang dimulai sejak tahun 1803, ditengarai sebagai penyebab terbelahnya kehidupan sosial masyarakat Batak (bagian utara dan bagian selatan),” terang Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan, dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, contoh lain, di Jawa Barat, sejarah Perang Bubat pada abad 14, telah membuat masyarakat Jawa Barat bersikap ‘antipati’ terhadap nama-nama, seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, dan Majapahit. Baru pada tahun 2018 stigma tersebut secara simbolis terhapus dengan diresmikannya nama Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk di Bandung.
“Referensi kesejarahan berikutnya, konflik yang muncul pasca Proklamasi kemerdekaan Indonesia, telah memiliki perluasan spektrum, dengan menyangkut muatan ideologi, isu keagamaan, hingga separatisme. Misalnya yang cukup menonjol adalah peristiwa pemberontakan G30/S PKI tahun 1965. Setelah beberapa generasi berlalu, anak cucu dari keturunan pelaku sejarah, yang sama sekali tidak tahu menahu atau tidak terlibat dalam peristiwa sejarah, harus ikut menanggung dosa warisan atau dosa turunan dari nenek moyang mereka,” pungkas Bamsoet. (K24_01/r)